Oleh I Putu Suartika || 16 Juni 2016
Dewasa ini
tidak dipungkiri bahwa pengajaran sastra di sekolah formal terkesan masih kaku
dan primitif. Baik guru Bahasa Indonesia maupun siswa masih terkesan “kabur”
dalam pembelajaran sastra, khususnya di daerah yang tergolong 3T (terluar,
terdepan, dan tertinggal) di wilayah Indonesia. Hal lain ialah dengan adanya
pembaruan kurikulum, diduga juga menjadi salah satu penyebab gagalnya
pembelajaran sastra di sekolah. Guru justru malah sibuk mengurusi kelengkapan
administrasi, sehingga tugas pokok guru untuk mengajar terabaikan.
Dampak yang terjadi ialah beberapa pengajaran sastra masih terlihat monoton. Dalam pengajaran puisi, misalnya. Guru masih bergaul dengan karya sastra yang sudah tertinggal zaman. Dari segi teori, hanya diperkenalkan pada unsur-unsur pembangun karya sastra, seperti unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dengan demikian, siswa mengalami kebosanan karena tidak sesuai dengan dunia mereka dan pengajaran itu terlihat jadul. Alngkah lebih bijak apabila pengajaran sastra di sekolah merujuk pada realitas di masyarakat sekitar sehingga tidak menjenuhkan. Untuk itu, perlu kiranya didata terlebih dahulu apa saja kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran sastra di sekolah yang tergolong daerah 3T, sehingga pembelajaran sastra menjadi hidup.
Pertama,
perlu adanya pelatihan kepada guru-guru bahasa Indonesia mengenai pembelajaran
sastra yang menarik di sekolah. Hal ini perlu dilakukan melihat jenjang
pendidikan guru yang ada di daerah 3T bervariasi. Mulai dari guru kontrak
tamatan SMA sampai dengan D3, sehingga kamampuan mereka masih belum begitu
memadai. Bahkan, ada pula mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu/diajarkan
oleh guru mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidangnya. Di samping itu,
metode pembelajaran yang digunakan begitu monoton. Pembelajaran sastra
diajarkan tidak sampai tuntas. Asalkan siswa sudah mengetahui apa itu puisi,
cerpen, atau novel dan mengetahui unsur-unsur pembangun karya sastra (unsur
intrinsik dan ekstrinsik), maka pembelajaran sastra dikatakan sudah cukup.
Kedua, perlu
adanya sumber belajar selain buku teks/paket yang bervariasi. Sumber belajar
yang dimaksudkan di sini ialah sumber belajar, seperti buku-buku cerita, novel,
buku kumpulan puisi, dan kumpulan cerpen. Dengan demikian siswa menjadi lebih
akrab dengan bacaan sastra. Tidak hanya itu, media pembelajaran berbasis
audio-visual juga sangat diperlukan untuk menjadikan pembelajaran sastra lebih
menarik bagi siswa. Meskipun hal terakhir ini tergolong sulit direalisasikan di
sekolah pedalaman, melihat sarana dan prasarana yang masih belum mendukung.
Terakhir, perlu
adanya tempat untuk memajang hasil karya siswa. Apakah itu dalam bentuk papan
mading atau sebuah ruang kosong yang memang digunakan untuk memajang hasil
karya mereka. Tujuannya jelas agar siswa merasa dihargai hasil karyanya dan
menjadi ajang untuk bersaing menciptakan karya sastra yang lebih baik lagi. Dengan
demikian, siswa akan merasa termotivasi untuk menciptakan karya sastra yang
lain. Serta tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan bermunculan
penulis-penulis muda dari sekolah bersangkutan.
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga kebutuhan
tersebut harus segera dipenuhi sehingga pengajaran sastra yang menarik dapat
terwujud di setiap sekolah-sekolah yang masuk dalam daerah 3T. Baik itu melalui
kerja sama sekolah dengan dinas pendidikan setempat ataupun bantuan dari
pemerhati pendidikan di Indonesia. Tindakan nyata yang telah dilakukan
pemerintah pusat, yaitu dengan adanya program SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah
Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) selama kurun waktu satu tahun. Program ini
justru telah membantu pemerintah dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di
wilayah Indonesia.
0 Response to "FENOMENA PEMBELAJARAN SASTRA DI PELOSOK NEGERI"
Posting Komentar