Malam yang begitu
terasa bagiku ketika mulai beranjak meninggalkan Pulau Jawa. Entahlah rasa
senang atau sedih yang kurasakan, ketika Aku benar-benar melihat lampu-lampu
dari atas ternyata Aku terbang malam itu. Keesokan harinya tibalah di pulau
yang kaya akan hutan, sepanjang jalan Aku hanya melihat dari sisi tempat
dudukku. Dalam hatiku kenapa begitu jauh untuk sampai di lokasi, jalan yang
begitu berkelok-kelok dan lumayan bergelombang. Begitu banyak pohon besar yang
memenuhi pandangan mataku, sehingga membuat teman-teman seperjuanganku banyak
yang tumbang alyas mabuk darat.
Sorong Selatan,
tepatnya Teminabuan di situlah tempat kami bermula sebelum disebar di tempat
pengabdian. Kota kecil yang masih bisa memanfaatkan jaringan dan bisa
menghubungi orang-orang tersayang. Kurang lebih seminggu Aku menunggu untuk
berangkat ke tempat tugas.
Kampung Manggroholo,
Distrik Saifi
Waktupun tiba membawaku
ke tempat yang belum pernah terbayangkan. Hanya bunyi jangkrik, dan
anjing yang menyambutku di malam pertamaku berada di kampung kecil itu. Perutku
berkali-kali berbunyi meskipun sebelumnya aku sudah memenuhinya dengan sayur
jantung pisang yang kucari dengan siswa-siswa sorenya tadi.
Kesadaranku mulai
tergoyah, ternyata aku benar-benar berada di 3T. SM3T. Tak lagi bisa SMS, telepon, melihat TV, merasakan cahaya
lampu, apalagi chatting. Berguling ke
kiri, ke kanan tak bisa nyenyak tidurku. Mataku pun membelalak dan ingat aku bakalan satu tahun aku berada di sini.
Aku takut dengan diriku sendiri apakah aku bisa menjadi guru dan apa yang aku
ajarkan? Silabus, RPP dan media? Huaaaa terlalu perfect ternyata untuk menjdi guru yang baik.
Gonggongan anjing yang
melengking membuatku terbangun dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi. Ternyata
ember belum terpenuhi air, untuk mendapatkannya saja harus turun bukit dan
mengambilnya di sumur sagu. Akhirnya langkahku kembali lagi ke kamar tidur
mencari bekas gelas air mineral. Kuambil air di ember dengan takaran gelas
tersebut untuk berwudhu.
Siapa mereka?
Segelas susu yang
kuminum mengantarkanku ke sekolah (belum memasak, hehehe). Entahlah ini rasa
senang apa sebaliknya melihat mereka yang begitu menarik pandanganku. Rencanaku
yang ingin masuk kelas hari itu dibuyarkan dengan kegiatan babat alyas kerja
bakti memotong rumput. Ternyata belum ada guru yang datang ke sekolah ini.
Hanya kepsek dan beberapa guru, tetapi mereka tidak mengajar di kelas.
Bisakah Aku
beradaptasi?
Perlahan aku bisa
mengenali mereka, ternyata siswaku belum bisa memahami apa arti pentingnya belajar.
Miris apa tragis ketika siswaku tidak bisa membedakan huruf satu dengan yang
lain. Tetapi kenapa mereka bisa menulis nama mereka masing-masing? Begitulah
aku mengenal mereka. Setiap ada waktu senggang di kelas, mereka kupaksa untuk
belajar mengenal huruf. Jangankan menjalankan Kurtilas(Kurikulum 2013), bukannya tidak mau
menerapkan tetapi karena keadaan. Entahlah harus menyalahkan siapa jika siswa
yang duduk di SMP mereka masih ada yang belum mengenal huruf.
Haruskah melempar dosa?
Di sini siapa yang
patut disalahkan? Guru Sekolah Dasarkah? Orangtuakah? apa siswa itu sendiri kah?
Jika dibilang jujur dari hati, rasanya aku belum berhasil meskipun sudah satu
tahun aku mengabdi. Mereka masih ada yang belum bisa mengenal huruf. Apakah aku
yang kurang maksimal mengajarkan mereka huruf? Masih terngiang hingga saat ini,
apa kabar mereka? Sebagai guru bahasa Indonesia aku merasa bukan guru yang baik
bagi mereka.
Berbicara sastra?
Apa yang akan kuberikan kepada mereka bumbu-bumbu sastra? Entahlah saat itu aku hanya sekedar menuliskan puisi di papan dan membacakannya di depan siswaku. Siswaku pun kembali menuliskan di bukunya dan membacakan. Yang aku butuhkan hanyalah rasa sabar dan banyak memberi contoh ke mereka. Belajar sastra bagi mereka selama ini hanya mengenal lagu daerah kampungnya. Itu menurutku sih? Tapi bagiku mengajarkan sastra kepada mereka hanya berpesan bahwa sastra itu adalah hal indah yang bisa kita rasakan dengan rasa yang kita punya.
Media sastra?
Bagiku media apa yang pantas untuk membelajarkan mereka sastra adalah rasa kesabaran yang memerasakan rasa mereka tentang keindahan. Hanya itu selama aku mengabdi. Mendengar suara indah mereka melantunkan lagu kampung bagiku itu sudah belajar sastra.
UNTUK MEREKA
Berbicara sastra?
Apa yang akan kuberikan kepada mereka bumbu-bumbu sastra? Entahlah saat itu aku hanya sekedar menuliskan puisi di papan dan membacakannya di depan siswaku. Siswaku pun kembali menuliskan di bukunya dan membacakan. Yang aku butuhkan hanyalah rasa sabar dan banyak memberi contoh ke mereka. Belajar sastra bagi mereka selama ini hanya mengenal lagu daerah kampungnya. Itu menurutku sih? Tapi bagiku mengajarkan sastra kepada mereka hanya berpesan bahwa sastra itu adalah hal indah yang bisa kita rasakan dengan rasa yang kita punya.
Media sastra?
Bagiku media apa yang pantas untuk membelajarkan mereka sastra adalah rasa kesabaran yang memerasakan rasa mereka tentang keindahan. Hanya itu selama aku mengabdi. Mendengar suara indah mereka melantunkan lagu kampung bagiku itu sudah belajar sastra.
UNTUK MEREKA
Salam rinduku buat
mereka yang selalu aku salamkan lewat alam. Biarkan nanti mereka akan menjawab
jika IBU GURU DEWA (panggilan sayang di sana) di sini merindukan kalian.
0 Response to "SSP hari ini mencoretkan kebutuhan sastra di pelosok negeri?"
Posting Komentar