Pembelajaran sastra di
daerah 3T merupakan pembelajaran yang masih asing di kalangan siswa. Siswa
bahkan belum mengenal klasifikasi materi yang termasuk sastra dan bukan sastra.
Pembelajaran sastra,
misalnya puisi, dapat dimulai dari hal yang sederhana. Pengenalan variasi diksi
merupakan hal dasar yang perlu diajarkan pada siswa. Daerah geografis yang
terletak jauh dari pusat pemerintahan, menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa
yang paling dikuasai. Oleh karena itu, pengetahuan siswa tentang keanekaragaman
diksi dan padanan kata dalam bahasa Indonesia masih sangat minim. Untuk
kegiatan pembelajaran selanjutnya, siswa dapat dibimbing satu persatu untuk
mulai menerapkan beberapa kata untuk dikembangkan dalam sebuah puisi. Selain
itu, mengajarkan analogi juga merupakan
hal yang sangat penting. Kurangnya minat baca menjadikan pengetahuan siswa
belum sampai pada tahap pemahaman tentang majas dalam puisi. Oleh karena itu,
penggantian istilah majas dengan analogi lebih mudah diterima oleh siswa.
Karena, macam-macam majas yang terlalu banyak menjadikan mereka kurang bisa
memahami konsep tersebut. Pernah sekali saya mencoba untuk menjelaskan majas
dan meminta para siswa untuk menerapkannya dalam penulisan puisi. Akan tetapi,
hasilnya kurang memuaskan. Konsep majas yang belum mendalam menjadikan
munculnya kerancuan dalam tulisan mereka. Oleh karena itu, membiasakan mereka
membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lain lebih memudahkan mereka
untuk menuliskan maksud dari ide mereka.
Selain puisi, cerpen juga
salah satu materi sastra yang membuat para siswa kesulitan untuk memproduksinya.
Akan tetapi, terdapat sebuah cara sederhana yang mampu membantu siswa untuk
lebih mudah dalam menuliskan idenya dalam bentuk cerpen. “Tulislah apa yang
kalian rasakan saat ini, maka menulis cerpen akan mudah”, begitulah penjelasan
saya pada mereka agar mereka tidak terbebani dengan tuntutan ide cerita yang
rumit. Memulai untuk menulis perasaan yang sedang dialami menjadi salah satu
kunci yang membebaskan imajinasi mereka untuk menulis. Oleh karena itu,
membelajarkan materi yang terpacu pada kurikulum bukanlah satu-satunya solusi
yang mampu menumbuhkan minat mereka dalam menulis. Alangkah lebih baiknya, jika
setiap siswa diberi kesempatan untuk melibatkan imajinasi yang bebas agar
menulis sesuai dengan keinginan mereka. Tanpa terkungkung oleh struktur dan
ciri bahasa yang selama ini seolah menjadi patokan dalam menulis.
Demikianlah sebuah tips
singkat yang dapat saya bagikan kepada teman-teman. Semoga bermanfaat.
0 Response to "Sastra, Ibarat Makhluk Asing di Nusa Utara"
Posting Komentar